Cari Blog Ini

Jumat, 13 Juni 2025

HAMKA, Da'i Sejati

A. Biografi H. Abdul Malik Karim Amrullah

Kali ini kita akan membahas seorang tokoh Islam yang bagi kalangan generasi tahun delapan puluhan tentu sudah tidak asing lagi, akan tetapi bagi generasi sekarang sepertinya hanya segelintir orang saja yang mengenal namanya, bahkan mungkin tidak sedikit yang sama sekali tidak mengenalnya. Ya, dia adalah H. Abdul Malik Karim Abdullah bin Abdul Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal dengan nama Hamka. Beliau lahir pada hari ahad, 16 Februari 1908 di Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat.

  Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah, atau sering disebut Haji Rasul, seorang ulama yang pernah mendalami Islam di Makkah dan pelopor kaum muda dan tokoh Muhammadiyah Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung. Sejak kecil, Hamka menerima dasar-dasar agama dan belajar membaca Al-Quran dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Usia 7 tahun masuk ke sekolah, meski akhirnya ia keluar dari sekolah itu setelah 3 tahun belajar, dan malah belajar mengaji dengan ayahnya sampai khatam. Sejak Zainudin Labai el-Yunusi mendirikan sekolah Diniyah di Pasar Usang Padang panjang, Hamka lalu dimasukkan ayahnya ke sekolah ini. Pagi hari Hamka pergi ke sekolah desa dan sore hari pergi mengaji ke sekolah Diniyah, dan pada malam hari berada di surau dengan teman-temannya. Seperti itulah kegiatan rutinitas yang selalu dilaluinya. Disela-sela kegiatan tersebut dia masih bisa menyempatkan diri untuk mengunjungi sebuah perpustakaan umum milik Zainuddin Labay el-Yunusi dan Bagindo Sinaro. Hamka menjadi asik di perpustakaan ini mendalami buku-buku cerita dan sejarah. Perpustakaan tersebut yang diberi julukan dengan nama Zainaro, menumbuhkan semangat tertentu bagi Hamka yaitu untuk menulis buku-buku cerita dan sejarah.


  1. Perjalanan dan Pengalaman Hidupnya

Pada tahun 1924, Hamka pergi merantau ke pulau Jawa setelah kegagalannya untuk pergi pada tahun sebelumnya dikarenakan dia tertimpa sakit cacar. Hamka menetap di tanah Jawa relatif singkat, kurang lebih satu tahun, menurut Hamka sendiri telah mampu memberikan ”semangat baru” baginya dalam mempelajari agama Islam. Ia memulai pencarian ilmunya di kota Yogyakarta, dimana kota tersebut merupakan tempat lahirnya organisasi Muhammadiyah. Melalui Ja’far Amrullah, pamannya, Hamka kemudian memperoleh kesempatan mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Syarikat Islam.

Dalam perjalanannya ia juga bertemu dengan Hos Tjokroaminoto dan menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada Hos Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan K.H. Fakhrudin. Saat itu, Hamka mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta. 

  Tumbuhnya kesadaran baru dalam memandang wajah Islam yang diperolehnya di Yogyakarta, kemudian beriring dengan pengukuhannya di saat ia berada di Pekalongan, selama lebih kurang enam bulan. Dari kedekatannya dengan menantu ayahnya AR Sutan Mansur yang menetap di Pekalongan, dapat memberinya ruh perjuangan dalam mempertahankan kemuliaan hidup. Sejak saat itu Hamka meyakinkan dirinya untuk aktualisasi hidupnya sebagai seorang pemegang amanah Allah dan penyampai risalah agama Islam. Dalam usia yang terbilang muda, 17 tahun, Hamka mampu berpidato dimana-mana dengan landasan gelora dari semangatnya yang baru.

Dengan memiliki modal intelektual  dan semangat pergerakan seperti yang digambarkan di atas, Hamka kembali ke Minangkabau. Sejak itu ia mulai memperbaiki dan menyempurnakan arah yang dipilihnya sebagai seorang tokoh sekaligus ulama dalam arah perkembangan pemikiran dan pergerakan Islam di Indonesia yang semakin pesat. Dalam usianya yang masih 17 tahun diwaktu kembali ke Minangkabau dalam perjalanannya dari tanah Jawa, seiring dengan waktu Hamka pun telah tumbuh menjadi seorang yang dewasa, ditengah-tengah lingkungannya. Ia mulai berani untuk tampil berpidato, bertabligh dikalangan masyarakat Minangkabau yang telah melahirkan dan membesarkannya. Ia pun mulai membuka kursus pidato bagi teman-teman sebayanya di Surau Jembatan Besi. Kemampuan dasar alami yang dimiliki oleh Hamka dalam mengolah dan menyusun kata-kata, baik dalam berorasi maupun dalam menulis, mampu mengantarkan Hamka pada tempat yang diistimewakan dikalangan teman-temannya. Ia kreatif dalam membukukan serta menyusun ulang pidato  teman-temannya dan kemudian diterbitkan dalam bentuk majalah yang dipimpinnya yang diberi nama Khatibul Ummah.

Tapi masyarakat menganggap bahwa Hamka belum memiliki modal dasar yang harus dikuasai layaknya sebagai seorang ulama. Menurut masyarakat Minangkabau, Hamka memang pandai, namun kemahirannya seperti yang disebutkan oleh ayahnya, “cuma pandai menghafal syair, bercerita masalah sejarah, seperti seekor burung beo”. Karena hal inilah Hamka membulatkan tekatnya untuk mengambil sebuah keputusan untuk pergi ke Makkah.

Dengan memulai hidup di Kota Makkah, aktivitasnya sebagai seorang pergerakan yang telah tertanam kokoh dalam jiwanya semenjak tinggal di Yogyakarta, membuat Hamka tidak tinggal diam. Semenjak ia berangkat dari tanah air pada bulan Februari 1927, menjelang pelaksanaan ibadah haji, Hamka bersama dengan beberapa calon jamaah haji lainnya sempat mendirikan sebuah wadah organisasi yang bernama Persatuan Hindia Timur. Organisasian ini mempunyai tujuan untuk memberikan pelajaran agama, terutama manasik haji, terhadap para calon jamaah haji dari Indonesia.

Dilain hal, dalam mewujudkan keinginannya besama teman-teman di organisasi dalam memberikan pelajaran agama dalam manasik haji, harus mendapatkan izin dari Amir Faisal. Dengan kemampuan berbahasa Arab yang pas-pasan, Hamka memberanikan diri untuk tampil sebagai ketua delegasi untuk menghadapi Amir tersebut. Ini merupakan sebuah keberanian yang sangat langka di kalangan calon jamaah haji asal Indonesia.

Dilain masa, Hamka pun telah menyelesaikan berbagai macam aktivitasnya di kota Makkah. Tentu waktunya untuk pulang ke kampung halaman, dengan menyandang gelar, suatu nama yang menjadi sebuah legitimasi sebagai seorang ulama dalam pandangan masyarakat Minangkabau. Hamka pun seolah memberikan penjelasan bahwa kehadirannya ditengah berbagai macam perkembangan pemikiran keagamaan di Minangkabau. karena sebelumnya Hamka dianggap tidak mempunyai kemampuan yang layak, sekarang sudah menjadi seorang anak yang siap untuk menggantikan keulamaan ayahnya, yakni Syeikhk Abdul Karim Amrullah. Selain itu, ia juga mulai aktif sebagai pengurus Muhammadiyah Cabang Padang Panjang. Bahkan tidak hanya sampai disitu aktivitasnya, iapun dipercaya sebagai pimpinan sekolah yang diberi nama Tabligh School.

Secara berangsur-ansur, pengukuhan Hamka sebagai tokoh dan penyampai ajaran agama Islam secara pasti ia mantapkan. Pada tahun 1929 Hamka menjadi guru agama di Padang Panjang. Setelah itu diwaktu kongres Muhammadiyah ke 19 yang berlangsung di Bukit  Tinggi pada tahun 1930, Hamka tampil sebagai pembicara dengan judul Agama Islam dan Adat Minangkabau. Lalu ketika Muktamar ke 20 digelar di Yogyakarta pada tahun 1931, Hamka pun kembali tampil sebagai pembicara dengan ceramah yang berjudul Muhammadiyah di Sumatera. Setahun kemudian, atas kepercayaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Hamka diutus ke Makasar menjadi muballigh. Pada tahun 1933 ia menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Semarang, dan pada tahun 1934 ia diangkat menjadi anggota tetap Majlis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah.

Setelah Hamka pulang dari Makasar, ia pun mendirikan Kulliyatul Muballighin di Padang Panjang, di samping ia aktif menjadi seorang muballigh. Kemudian pada tahun 1936 Hamka pindah ke Medan. Di kota ini Hamka berkiprah bersama dengan M. Yunan Nasution dan sami menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat, menurut M. Yunan Nasution penerbitan majalah ini dapat memberikan andil yang tidak sedikit bagi perkembangan pengarangan dan pujangga Hamka di masa akan datang. Secara berangsur karya-karyanya pun mulai diterbitkan, seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Pedoman Muballigh Islam, Teggelamnya Kapal Van Der Wijk, Tasawuf Moderen, Filsafat Hidup,  Merantau ke Deli dan Tuan Direktur.

Waktu tentara Jepang berhasil mendarat di kota Medan pada tahun 1942, kehadiran Jepang tentunya berdampak terhadap aktivitas masyarakat, termasuk didalamnya kegiatan Hamka. Salah satu contohnya majalah Pedoman Masyarakat dihanguskan. Bendera kebanggaan Indonesiapun tidak boleh dinaikkan lagi. Hampir semua masyarakat kecewa dengan keadaan ini. Namun walaupun demikian, Hamka masih mendapat kedudukan yang istimewa dalam pemerintahan jepang. Sebagai tokoh Muhammadiyah dan pemuka masyarakat, Hamka diangkat sebagai anggota Syu Sangi Kai, Dewan Perwakilan Rakyat yakni pada tahun 1944. Dalam kedudukannya ini, Hamka diminta pertimbangan oleh pemerintah Jepang untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dari kalangan ummat Islam. Posisi dapat menempatkan Hamka sebagai “anak emas” Jepang. Tentunya tidak dapat untuk dipungkiri keadaan ini membuat Hamka menjadi tersisih dalam pandangan masyarakat Medan, tertama organisasinya Muhammadiyah. Kritikan yang bernada sumbang sering ia terima, sehingga membuat Hamka membuat satu istilah dengan keadaan ini dengan sebutan “lari malam” dari kota Medan. 

Akhirnya pada tahun 1945, Hamka meninggalkan kota Medan kemudian ia menetap kembali di kota Padang Panjang. Kedatangan Hamka di Padang Panjang disambut gembira oleh sahabat-sahabatnya, dan kepemimpinan Kulliyatul Muballighin kembali diserahkan kembali kepada Hamka. Konsentrasinya sekarang terpusat terhadap pengelolaan sekolah ini, peluang untuk memulai kembali menulis karya-karya yang digemari oleh masyarakat berangsur ia tekuni. Sehingga pada masa ini sampai terbit buku-bukunya; Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minang Kabau Menghadapi Revolusi dan dari Lembah Cita-cita.

Dalam kurun waktu yang tidak lama semenjak kepulangannya ke Padang Panjang, Hamkapun terpilih menjadi ketua Muhammadiyah dalam Konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang pada tahun 1946. Kedudukannya sebagai ketua Muhammadiyah membuat Hamka memperoleh banyak kesempatan untuk berkeliling Sumatera Barat, dengan sekaligus mempunyai tujuan untuk merangsang cabang-cabang Muhammadiyah untuk meningkatkan kegiatan penyiaran Islam dalam rangka meneguhkan keutuhan dan persatuan bangsa. Keadaan seperti ini sangat menguntungkan bagi Hamka, sehingga kebolehannya sebagai penulis dan penceramah semakin dikenal. Hamka dipandang sebagai pemimpin agama dan juga sebagai pejuang kebangsaan. 

Ketika agresi Belanda yang pertama meletus pada tahun 1947, Wali Kota Padang Bagindo Aziz Chan wafat  ditembak oleh Belanda, memicu bangkitnya perlawanan bersenjata di Negeri Minangkabau untuk mengusir penjajah Belanda. Maka untuk keperluan membangkitkan semangat perjuangan rakyat Sumatera Barat, dibentuklah sebuah badan yang dikenal dengan nama Front Pertahanan Nasional (FPN). Hamka diberi kepercayaan untuk mengetuai dari sekretaris  FPN tersebut.

Setelah tercapainya gencatan senjata dengan pihak Belanda pada tahun 1949 dan mulailah disusun pemerintahan Republik Indonesia untuk Sumatera Tengah, Hamka sadar bahwa pekerjan yang digagas itu bukanlah hal yang mudah, karena sudah mengarah kepada bidang pemerintahan. Sementara ia hanyalah seorang penulis dan pujangga, disamping sebagai tokoh agama tengah-tengah masyarakat. Namun ia memilih kegiatan itu dengan penuh keyakinan, dan dengan kesungguhannya Hamka terlihat dapat bertahan dengan aktivitasnya itu. Oleh karena itu Hamka berkeyakinan bahwa untuk memudahkan kegiatan-kegiatannya sebagai seorang muballigh dan penulis Islam lalu ia memutuskan untuk mencoba pindah ke Jakarta. Pada tanggal 18 desember 1949, dengan semangat dan keyakinannya Hamka meninggalkan Minangkabau menuju kota Metropolitan.

Ternyata di tempat barunya kota Jakarta, dapat menawarkan kepadanya banyak kemungkinan. Setelah ia berada di ibu Kota beberapa waktu, ia diterima sebagai anggota koresponden surat kabar Merdeka dan majalah Pemandangan. Autobiografinya Kenang-Kenagan Hidup di waktu ini juga Hamka mulai menuliskannya. Kota Jakarta juga memberikan kesempatan kepada Hamka pilihan yang baru, yakni kesempatan untuk menjadi seorang politik praktis. Hamka memilih untuk bergabung dengan partai politik Islam yaitu Masyumi.

Terpilihnya Hamka menjadi anggota konstituante dari parta Masyumi diwaktu berlangsungnya pemilihan umum di Indonesia pada tahun 1955, adalah sebagai bukti bahwa kegiatan politik praktis tidaklah sampai menggangu aktivitasnya sebagai seorang muballigh, penulis dan sekaligus pejuang Islam. Karena melalui konstituante Hamka dapat dengan gigih memperjuangkan dan mengedepankan kepentingan Islam. Dalam mengutamakan dan memperjuankan kepentingan Islam itu sendiri sesuai dengan garis kebijakan dari partai Masyumi sendiri Hamkapun tampil dengan membawa usulan untuk mendirikan Negara yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Hamka memiliki pandangan tersendiri tentang Islam di Indonesia, menurutnya Islam adalah pondasi dan falasafah hidup bangsa Indonesia yang sudah tertanam kokoh dalam kebudayaan tradisional. Bahkan di samping itu, Hamka berpendapat, kedudukan Islam begitu kuat berakar dalam perkembangan kebudayaan Indonesia, malah melebihi kesakralan Pancasila yang menjadi motor revolusi  dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada akhirnya tidak dapat disangkal bahwa perjuangannya untuk mengedepankan pembelaan terhadap agama Islam belum membuahkan hasil, namun ia sudah menunjukkan kegigihannya untuk menegakkan Islam.

Sebagai seorang tokoh masyarakat dan agama, Hamka pun tidak luput dari hasutan. Ia dituduh menggagas rapat gelap menyusun rencana membunuh presiden Soekarno. Kemudian untuk memojokkan Hamka pada situasi yang sulit, Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan badan kebudayaan PKI menuduh Hamka sebagai plagiator karya Mustafa Lutfi  al-Manfaluti.

 Semakin lama pengaruh PKI semakin meningkat dan Soekarno benar-benar dalam kekuasaannya. Atas tuduhan merencanakan pembunuhan presiden itu, Hamka lalu ditangkap dan dimasukkan kedalam penjara. Di dalam tahanan, bakatnya tidak pernah padam, sehingga ia menyelesaikan Tafsir Al-Azhar dan disusul dengan karya yang lain yakni Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao.

Belajar dari pengalaman pahit yang dialami Hamka, seperti yang dijelaskan diatas.  Hamka pun mengambil sebuah keputusan untuk memusatkan perhatiannya untuk kegiatan-kegiatan syiar Islam.  Kemudian ia jadi pimpinan pada majalah Panji Masyarakat dan sekaligus menjadi imam besar Masjid Al-Azhar, Hamka juga sering dipercaya sebagai wakil pemerintahan Indonesia dalam pertemuan-pertemuan Islam Internasional, seperti konferensi Negara-negara Islam yang dilaksanakan di Rabat pada tahun 1968, kemudian Muktamar Masjid yang digelar di Makkah pada tahun 1971, seminar Tentang Islam dan Peradaban di Kuala Lumpur, dilanjutkan dengan Upacara Peringatan Seratus Tahun Muhammad Iqbal bertempat di Lahore dan mengikuti Konfrensi Ulama di Kairo tahun 1977.

Aktivitas yang begitu banyak yang dilaksanakannya itu dijalani sebagian besar disaat usianya sudah mulai tua, tentu akan berdampak kepada terganggunya kesehatan Hamka sendiri, sehingga Hamka masuk rumah sakit menjelang hari peringatan ulang tahunnnya yang ke-70 tahun, bertepatan pada tanggal 16 Februari 1978. Dengan perawatan yang maksimal tentunya, kesehatan Hamka mulai pulih, lalu Hamka pulang kerumah dan lebih banyak menunggu orang-orang datang kerumahnya untuk bertukar pikiran tentang persoalan kehidupan dan masalah-masalah agama.

Dua tahun menjelang wafatnya, Hamka sejak tahun 1975 menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia mengundurkan diri. Sebab dari mundurnya Hamka dari jabatannya adalah perayaan Natal bersama antara Umat Kristen dan penganut Umat lainnya termasuk agama Islam. Sementara pada waktu itu Majelis Ulama  Indonesia  yang dipimpin oleh Hamka telah mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya seorang muslim mengikuti perayaan Natal.

Dua bulan setela Hamka mengundurkan diri dari ketua Majelis Ulama Indonesia, ia kembali masuk rumah sakit akibat serangan jantung yang cukup berat. Lebih kurang satu minggu Hamka dirawat di rumah sakit Pertamina Jakarta Pusat, yang ditangani oleh dokter ahli. Namun usaha yang maksimal yang dilakukan oleh para dokter ahli dengan mengerahkan semua kemampuannya, rupanya Allah berkehendak lain. Pada tanggal 24 Juli 1981 bersamaan dengan tanggal 22 Ramadhan 1401 H, ditemani oleh istrinya Khadijah dan beberapa teman dekat serta puteranya Afif Amrullah, Hamka berpulang kerahmatullah dalam usia 73 tahun.


  1. Pemikiran Pendidikan H. Abdul Malik

Buya Hamka adalah sosok manusia atau aset Negara Republik Indonesia yang multiperan. Selain sebagai ulama dan pujangga, ia juga seorang pemikir. Diantara buah pikirannya adalah gagasan tentang pendidikan. Pentingnya manusia mencari ilmu pengetahuan, menurut HAMKA, bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak, melainkan lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal Tuhannya, memperhalus akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah.  Buya HAMKA membedakan makna pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.

Pemikiran Hamka tentang pendidikan secara garis besar adalah sebagai berikut :

  1. Urgensi Pendidikan Bagi Manusia

Hakekat pendidikan menurut beliau terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : pertama, pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Kedua, pendidikan ruhani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dalam ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan kepada agama. Kedua unsur jasmani dan ruhani tersebut memiliki kecenderungan untuk berkembang, dan untuk menumbuh kembangkan keduanya adalah melalui pendidikan karena pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam menentukan perkembangan secara optimal kedua unsur tersebut.

  1. Terminologi dan tujuan Pendidikan Islam

Buya Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran, menurutnya pendidikan merupakan serangkaian usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk membentuk watak, budi pekerti, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia bisa membedakan mana yang baik, dan mana yang buruk.  Sedangkan pengajaran adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.

Perbedaan kedua pengertian tersebut sebetulnya hanya pada maknanya saja, namun secara esensi ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut memuat makna yang integral dan saling melengkapi dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Sebab, setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti apabila tidak dibarengi dengan proses pendidikan.

Buya Hamka juga berpendapat bahwa: ”berdasarkan akalnya manusia dapat menciptakan peradaban dengan baik”, fenomena ini dapat dilihat dari sejarah manusia di muka bumi. Disamping itu fungsi pendidikan tidak hanya sebagai proses pengembangan intelektual dan kepribadian peserta didik saja, akan tetapi proses sosialisasi peserta didik dengan lingkungan dimana tempat ia berada.

Adapun tujuan pendidikan menurut Hamka memiliki dua dimensi; bahagia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik yaitu beribadah. Oleh karena itu segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi Allah yang baik.

  1. Tugas Dan Tanggung Jawab Pendidik

Menurut Beliau tugas dan tanggung jawab seorang pendidik adalah memantau, mempersiapkan dan menghantarkan peserta didik untuk memiliki pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfa’at bagi kehidupan masyarakat. Untuk melaksanakan hal ini ada 3 institusi yang bertugas dan bertanggung jawab :

  1. Lembaga Pendidikan Informal (Keluarga)

Dalam Islam keluarga dikenal sebagai usrah, dan nasb. Keluarga juga dapat diperoleh lewat persusuan dan pemerdekaan. Pentingnya serta keutamaan keluarga sebagai lembaga pendidikan Islam disyaratkan dalam Al-Quran:

Hal ini diperaktekkan Nabi dalam sunnahnya. Diantara orang yang dahulu beriman dan masuk islam adalah Anggota keluarganya, yaitu: Khadijah, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Harisah.

  1. Lembaga Pendidikan Formal (Sekolah)

Hadari Nawawi mengelompokkan lembaga pendidikan sekolah kepada lembaga pendidikan yang kegiatan pendidikannya diselenggarakan dengan sengaja, berencana, sistematis, dalam rangka membantu anak dalam mengembangkan potensinya, agar mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.

  1. Lembaga Pendidikan Non Formal (Masyarakat)

Lembaga pendidikan Non Formal adalah lembaga pendidikan yang teratur namun tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Hampir sejalan dengan pengertian tersebut diatas, Abu Ahmadi mengartikan lembaga non formal itu kepada semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan terencana diluar kegiatan lembaga Sekolah.

Adapun Syarat-Syarat menjadi Seorang Guru menurut Hamka demi mewujudkan pendidikan yang ideal adalah sebagai berikut:

  1. Adil dan objektif.

  2. Berakhlakul karimah.

  3. Menyampaikan ilmu tanpa ada yang ditutupi.

  4. Menghormati keberadaan murid sebagai manusia yang dinamis.

  5. Memberikan ilmu sesuai dengan tempat waktu kemampuan dan perkembangan jiwa.

  6. Memperbaiki akhlak dengan bijaksana.

  7. Membimbing sesuai dengan tujuan pendidikan.

  8. Memberikan bekal ilmu agama & umum.

  9. Mengajari hidup teratur.

  10. Ikhlas dan tawadhu’.

  11. Membiasakan diri untuk membaca.

  1. Kurikulum

Pada awal abad ke-20 sistem pendidikan Islam masih bersifat tradisional. Kurikulum pendidikan masih tradisional , yang berkisar pada al-Quran dan pengajian kitab, yang meliputi Ilmu Nahwu Sharaf, Fiqih, Tafsir dan lainnya, yang hanya terpaku disitu saja. Kurikulum pendidikan yang demikian dipandang kurang memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman , sehingga tergerak hati Hamka dan kawan-kawannya yang sepaham untuk mengadakan pembaharuan kurikulum pendidikannya lebih dikembangkan dan kitab-kitab yang digunakan juga tidak terpaku pada satu kitab saja. Sebagai rencana pelajaran yang merupakan bentuk usaha peningkatan pendidikan, kurikulum terdiri dari 4 kelompok, yaitu :

  1. Agama, yang mencakup :

  1. Tafsir Al Quran

  2. Hadis & Mushtkahah Hadis

  3. Fiqih dan Ushul fiqih

  4. Tauhid Islam

  5. Tarikh Tasyri’ Islamy

  6. Tauhid / Ilmu Kalam

  7. Akhlak dan tasawuf

  1. Bahasa, dengan kajian :

  1. Bahasa Arab dengan alat-alatnya ,yakni Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ma’ani, Bayan, Mantiq (logika), Insya’, Tarjamah, Muhawarah, Khithabah dan Khath.

  2. Bahasa Belanda

  3. Bahasa Inggris

  1. Pengetahuan Umum, meliputi :

  1. Berhitung / Aljabar

  2. Ilmu Ukur (Handasah)

  3. Ilmu Bumi (Geografi)

  4. Ilmu Alam

  5. Ilmu Hayat (Hewan & Tumbuh-tumbuhan)

  6. Sejarah umum dan tanah air

  7. Ilmu Falak

  1. Keguruan/Dakwah dan Kepemimpinan

  1. Ilmu mengajar dan mendidik ( At Tarbiyah watta’lim)

  2. Ilmu Jiwa Umum dan Ilmu Jiwa Anak

  3. Muqaranah Al Adyan ( Perbandingan Agama)

  4. Organisasi dan Administrasi Muhamadiyah

  5. Muhadharah atau pidato

  1. Sistem dan Metode Pembelajaran 

     Pertama Menurut Hamka metode secara umum diantaranya:

  1. Diskusi,proses bertukar pikiran antara dua belah pihak, proses ini bertujuan untuk mencari kebenaran melalui dialog dengan penuh keterbukaan dan persaudaraan.

  2. Karya wisata, mengajak anak mengenal lingkungannya, dengan ini sang anak akan memperoleh pengalaman langsung serta kepekaan terhadap sosial. 

  3. Resitasi, memberikan tugas seperti menyerahkan sejumlah soal untuk dikerjakan, dimaksudkan agar anak didik memiliki rasa tanggung jawab terhadap amanat yang diberikan kepadanya.

   Adapun yang Kedua, metode Islami, di antaranya:

  1. Amar ma’ruf nahi mungkar, menyuruh berbuat baik dan mencegah berbua  jahat. Bertujuan agar tulus hati dalam memperjuangkan kebenaran dan menjadikan pergaulan hidup lebih sentosa.

  2. Observasi, memberikan penjelasan dan pemahaman materi pada peserta didik. Metode ini digunakan agar peserta didik lebih mengenal Tuhannya.

  1. Evaluasi Pendidikan  

Evaluasi adalah menentukan tarap kemajuan suatu pekerjaan di dalam pendidikan Islam atau tahap akhir yang dilakukan dalam proses pendidikan, bertujuan untuk mengetahui sejauh mana proses belajar mengajar uantuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebagai landasan berpijak aktivitas suatu pendidikan. Pandangan  Buya Hamka dalam evaluasi seperti para tokoh-tokoh pendidikan Islam lainnya yakni mengarah pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Evaluasi dapat dilakukan dengan memberikan beberapa tugas, seperti yang terdapat pada metode pembelajaran yang berupa resitasi. Ini merupakan  evaluasi yang dilakukan secara global atau yang biasa dilakukan secara umum. Sedangkan dalam pendidikan tauhid, evaluasi mengarah pada sesuatu yang menyadarkan diri (introspeksi diri) dimana syur(perasaan) sebagai barometernya sehingga peserta didik itu mampu menjadi hamba Allah atau khalifah fil-Ardh di muka bumi Allah ini.



BAB III

KESIMPULAN


  1. Buya Hamka adalah seorang da’i, pendidik, politisi, dan ulama serta pemimpin umat ini pada masa itu.

  2. Hakekat Pendidikan menurut beliau terbagi dua, yaitu pendidakan jasmani dan rohani.

  3. Pendidikan merupakan serangkaian usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk membentuk watak, budi pekerti, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia bisa membedakan mana yang baik, dan mana yang buruk.  Sedangkan pengajaran adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.

  4. Menurut Beliau tugas dan tanggung jawab seorang pendidik adalah memantau, mempersiapkan dan menghantarkan peserta didik untuk memiliki pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfa’at bagi kehidupan masyarakat.

  5. Kurikulum pendidikan terdiri dari: agama, bahasa, pengetahuan umum, dan keguruan.

  6. Metode belajar diantaranya: diskusi, karya wisata, resitasi, dan lain-lain.

  7. Evaluasi bertujuan untuk mengetahui sejauh mana proses belajar mengajar uantuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebagai landasan berpijak aktivitas suatu pendidikan.

0 comments:

Posting Komentar

PENTINGNYA MENGENAL DAN MEMPELAJARI TENTANG RASULULLAH

  Seorang manusia ketika hidup di dunia ini, tentu dia akan dituntut untuk senantiasa belajar dan belajar, karena untuk mempertahankan eksis...