Sistem Pendidikan yang berlangsung di masa kekhilafahan Bani Umayah secara garis besar ada 2 macam, yaitu pendidikan untuk anak-anak dan Pendidikan untuk orang dewasa.
1. Kutab
Kutab ( كتّابjama’nya
كتاتب ) adalah tempat belajar bagi anak-anak
sampai menjelang dewasa. Menurut para sejarawan, Kutab sebenarnya sudah ada
sebelum masa Nabi Muhammad x.
Adapun kutab di masa sebelum diutusnya Rasul x letaknya berada di rumah-rumah orang yang
mengajarnya. Setelah Nabi x
diutus dan Islam mulai tersebar luas dimana masjid menjadi salah satu tempat
yang punya peranan yang sangat penting dalam penyebaran ajaran Islam, maka
kutab mulai beralih ke masjid, akan tetapi pembelajaran dilaksanakan di luar
masjid. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesucian masjid.
Bagi orang tua yang memiliki anak usia lima tahun atau lebih, maka
mereka akan mendaftarkannya ke kutab. Walaupun memang tidak ada ketentuan
khusus terkait usia minimal atau maksimal untuk bisa masuk kutab. Tapi di kutab
itu sendiri antara laki-laki dan perempuan dipisah.
Macam-macam kutab:
a.
Kutab untuk membaca dan menulis
b.
Kutab untuk mempelajari Alquran
Bagi kalangan pejabat atau
keluarga khalifah, maka mereka tidak mengirimkan anak-anaknya ke kutab, tapi
mengundang para guru untuk mengajarkan anak-anaknya ke istana atau ke rumah
mereka. Salah satu contoh adalah apa yang dilakukan oleh orang tua Umar bin Abdul
Aziz. Dia memilih seorang ulama yang bernama Solih bin Kaisan khusus untuk
mendidik dan mengajarkan Umar bin Abdul Aziz tentang ilmu agama.[1]
2. Masjid
Jika anak sudah menyelesaikan pelajaran di kutab, maka dia bisa memillih
untuk melanjutkan atau tidak. Sistem pembelajaran untuk orang dewasa
dilaksanakan di masjid. Maka masjid bukan sekedar untuk tempat melaksanakan
solat lima waktu semata, bahkan lebih dari itu masjid menjadi pusat
perkembangan peradaban Islam.
Ada juga tempat untuk mempelajari dan menerjemahkan buku-buku yang berasal dari Persia dan Yunani yang ketika itu sudah ditaklukan oleh kaum muslimin yang dinamakan baitul hikmah.[2] Tempat ini dibangun oleh khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan khusus untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang sifatnya percobaan (sience). Maka masa Bani Umayyah merupakan masa awal yang membawa tradisi dalam lapangan pengetahuan dan wawasan kebudayaan dari negeri yang ditaklukannya ke dalam kaum muslimin, dan kebiasaan ini terus berlanjut pada masa Bani Abasiyyah dan seterusnya.
Kurikulum Pembelajaran
Materi yang
diajarkan terbagi menjadi 2 sesuai dengan tingkatannya. Untuk Pendidikan dasar
yang dilaksanakan di kutab-kutab, materi yang diberikan adalah yang berkaitan
dengan Alquran, dan lebih difokuskan dalam segi hafalannya, maka sering kita
mendengar kisah para ulama terdahulu mereka sudah menyelesaikan hafalan Alquran
dengan sempurna saat usia mereka belum mencapai 10 tahun. Selain itu ada juga
materi membaca, menulis dan berhitung, yang merupakan materi dasar dalam
pembelajaran. Selain diajarkan mata pelajaran keilmuan, di kutab juga diajarkan
materi tentang adab, bahkan ini menjadi pelajaran utama, hingga madrasah itu
dinamakan majlis adab dan gurunya disebut “muaddib” juga “mu’allim”.[3]
Adapun materi
yang diajarkan untuk tingkat dewasa terdiri dari: ilmu Alquran, hadis, bahasa
arab, kisah/sejarah, majelis fatwa dan lain-lain. Bagi kaum muslimin yang
memang bukan asli bangsa arab, atau dengan kata lain bangsa-bangsa yang sudah
ditaklukan dan sudah memeluk Islam, maka mereka lebih ditekankan untuk
mempelajari bahasa arab, dengan tujuan agar mereka lebih mudah dalam
mempelajari Alquran dan hadis yang merupakan dua sumber hukum Islam. Lebih dari
itu, juga agar mereka bisa berkomunikasi dengan para penguasa sehingga bisa
menduduki jabatan dalam pemerintahan.[4]
Untuk jadwal
pelajaran yang berlaku ketika itu, dari waktu pagi sampai menjelang waktu dluha,
mereka mempelajari Alquran. Setelah itu pembelajaran berlanjut dari waktu dluha
sampai menjelang solat dzuhur dengan belajar menulis. Lalu mereka pulang untuk
istirahat makan siang, dan kembali ke sekolah setelah solat dzuhur dengan mempelajari
ilmu lain seperti bahasa arab, sejarah, syair, matematika dan lain-lain. Untuk
hari libur pembelajaran yaitu di hari Jum’at dan hari raya idul fitri dan idul
adha.
Metode Pengajaran
Metode
pengajaran yang digunakan ketika itu salah satunya dan yang umum digunakan
adalah metode talqin. Metode ini sangat berfokus pada seorang guru, dimana guru
membacakan materi pelajaran lalu muridnya mengikuti apa yang diucapkan oleh
gurunya dengan suara yang tinggi. Setelah itu berlanjut dengan menulis apa yang
sudah diajarkan disebuah papan kecil yang dibawa oleh setiap murid. Sebetulnya
metode masih ada dan dipraktekan di masa sekarang, terutama di daerah Afrika
yang berpenduduk muslim, seperti Somalia, Ethiopia dan lain-lain.
Metode lain yang dipakai adalah ceramah,
dimana guru membacakan dan menjelaskan tentang materi yang diajarkan, sementara
murid menyimak dengan baik apa yang disampaikan oleh gurunya. Ada juga metode
imla atau dikte, guru mendiktekan materi pelajaran sementara murid menulis apa
yang disampaikan oleh gurunya.
[1] Ali Muhammad As Sholabi, Ad Daulatu Umawiyyah, jilid 3,
Beirut, (Darul Ma’rifah), hlm. 105.
[2] Ali Muhammad As Sholabi, Ad Daulatu Umawiyyah, jilid 1, Beirut,
(Darul Ma’rifah), hlm.190.
[3] Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan Islam dari akar sejarah Islam,
Cirebon (CV. Pangger, 2016), hlm. 138.
[4] Yusliana Noor, Sejarah Timur Tengah (Asia Barat Daya), Yogyakarta
(Penerbit Ombak, 2014) hlm. 135.
0 comments:
Posting Komentar