Cari Blog Ini

Sabtu, 07 September 2024

Moderasi beragama, jangan kebablasan!

 1.       Pengertian Moderasi

Kata moderasi berasal dari bahasa latin, moderatio, yang berarti kesedangan (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Moderasi secara bahasa artinya pengurangan kekerasan, atau penghindaran keekstriman.[1] Adapun kata moderat mengandung pengertian cenderung ke arah jalan tengah. Jika dikatakan “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem.

Dalam bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku) atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral dan watak, baik Ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara.

Sedangkan dalam bahasa arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), I’tidal (adil) dan tawazun (berimbang), atau diantara dua sisi.[2] Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah bisa disebut wasith yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa arab pula, kata wasathiyah diartikan sebagai pilihan terbaik. Adapun lawan kata dari wasath adalah ghuluw, ifrath, atau tasyaddud dan tafrith atau taqsir. 

Dengan melihat makna moderasi secara bahasa, kita bisa menyimpulkan bahwa moderasi beragama adalah cara pandang, sikap dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil dan tidak ekstrem dalam beragama.

2.       Landasan Moderasi Beragama

a.       Landasan agama/theologi

Beberapa dalil baik dalam Al Qur’an maupun hadis menunjukan akan perintah untuk berperilaku atau berpandangan wasathiyah. Yang pertama dalam Al Qur’an surat al Baqarah ayat 143, Allah telah berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Seperti itulah Kami telah menjadikan kalian sebagai umat pertengahan, agar kalian menjadi saksi terhadap manusia, dan juga agar Rasul menjadi saksi terhadap kalian.” (QS. Al Baqarah [2]: 143)

Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa makna washat disini adalah pilihan, dan yang terbaik.[3] Dan yang menunjukan kepada makna itu adalah ayat yang lain dalam surat ali Imran ayat ke 110,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ 

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia.” (Q.S. Ali Imran [3]: 110)

Allah mensifati umat Islam dengan wasath karena sikap pertengahan mereka dalam beragama. Mereka tidak bersikap guluw (berlebihan) dalam beragama sebagaimana kaum Nasrani dengan ajaran kerahibannya, dan juga perkataan mereka tentang Nabi Isa ‘alaihi salam sebagaimana firman Allah dalam QS. An Nisaa ayat 171,

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ

      “Wahai ahlul kitab janganlah kalian melampaui batas dalam agamamu” (QS. An Nisaa: 171)

Dan mereka juga bukan kelompok yang selalu mengurangi ajarannya, seperti halnya kaum Yahudi yang selalu mengganti atau merubah isi kitab mereka. Maka Allah menjadikan umat Islam ini sebagai umat yang terbaik karena Allah telah memberikan keistimewaan kepadanya dengan syariat yang paling sempurna dan lurus.

Dalam QS. Al Qolam ayat 28 disebutkan pula kata wasath,

قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ

   “Berkatalah orang yang paling baik pikirannya di antara mereka, “bukankah aku telah mengatakan kepadamu hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)” (QS. Al Qolam: 28)

Imam Al Qurtubi mengatakan makna ausath adalah yang paling adil dan paling berakal.[4]

       Dalil berikutnya adalah dalam hadis Nabi x, dikisahkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari sahabat Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, “ Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi untuk bertanya tentang ibadah beliau, lalu setelah mereka diberitahukan (tentang ibadah beliau), mereka menganggap ibadah beliau itu sedikit sekali. Mereka berkata, “kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Nabi. Beliau telah diberikan ampunan atas semua dosa-dosanya baik yang telah lewat maupun yang akan datang, salah seorang dari mereka mengatakan, “Adapun saya, maka saya akan sholat malam selama-lamanya.” Lalu orang yang lainnya menimpali, “Adapun saya, maka saya akan puasa terus menerus tanpa berbuka.” Kemudian yang lainnya berkata, “Sedangkan saya, saya akan menjauhi Wanita, saya tidak akan menikah selamanya.” Kemudian Rasulullah mendatangi mereka, seraya bersabda, “Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling takwa kepada-Nya diantara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku juga berbuka (tidak puasa), aku sholat malamdan aku juga tidur, dan aku juga menikahi Wanita. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.”[5]

 

 

b.      Landasan normatif

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, baik dari segi wilayahnya maupun dalam kearagaman suku, agama, bahasa dan budayanya. Dengan keadaan yang seperti itu, disatukan dengan ikatan kebangsaan dan kenegaraan. Maka perlu kiranya ada aturan yang menjaga dan menjamin ikatan itu tetap ada. Salah satu hal yang mampu mengikat keragaman budaya ini adalah dasar negara, yaitu Pancasila. Dalam sila kedua disebutkan “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Yang menandakan bahwa setiap warga negara harus mempunyai sikap yang adil dalam melihat dan mensikapi segala sesuatu. Setiap orang harus menganggap semua warga negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama dalam statusnya sebagai warga negara, mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada yang mempunyai kedudukan yang istimewa di mata hukum.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang dikukuhkan pada 17 Januari 2020 melalui peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2020 telah menempatkan moderasi beragama sebagai modal sosial mendasar untuk pembangunan bangsa. Pasalnya, moderasi beragama pada hakikatnyamenciptakan kesadaran kolektif semua komponen bangsa untuk mengharmoniskan relasi keagamaan dan kebangsaan dalam konstruk positif. 

Dalam Keputusan Menteri Agama nomor 183 tahun 2019 dijelaskan bahwa tujuan pengembangan kurikulum PAI adalah untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki pola pikir dan sikap keagamaan moderat, inklusif, berbudaya, religius serta memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, produktif, kreative, inovatif dan kolaboratif serta mampu menjadi bagian dan solusi terhadap berbagai persoalan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.

c.       Landasan sosiologi

Moderasi beragama menjadi muatan nilai dan praktek yang paling sesuai untuk mewujudkan kemaslahatan bumi Indonesia. Sikap mental moderat, adil dan berimbang menjadi kunci untuk mengelola keragaman kita. Dalam berkhidmat membangun bangsa dan negara, setiap warga Indonesia memiliki hak dan kewajiban untuk mengembangkan kehidupan bersama yang tentram dan menentramkan. Bila ini dapat kita wujudkan, maka setiap warga negara dapat menjadi manusia Indonesia seutuhnya, sekaligus menjadi manusia yang menjalankan agama seutuhnya.   

Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman etnis, suku, budaya, Bahasa dan agama yang nyaris tidak ada tandingannya di dunia ini. Selain enam agama yang banyak dipeluk oleh masyarakat, ada ratusan bahkan ribuan suku, bahasa dan aksara daerah serta kepercayaan lokal di Indonesia. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik tahun 2010, secara keseluruhan jumlah suku dan sub suku di Indonesia adalah sebanyak 1331, meskipun pada tahun 2013 jumlah ini berhasil diklarifikasi oleh BPS sendiri, bekerjasama dengan Institut Of Southeast Asian Studies (ISEAS) menjadi 633 kelompok-kelompok suku besar.

Terkait jumlah bahasa, badan Bahasa pada tahun 2017 juga telah berhasil memetakan dan memverifikasi 652 bahasa daerah di Indonesia, tidak termasuk dialek dan sub-dialeknya. Sebagian Bahasa daerah tersebut tentu memiliki jenis aksaranya sendiri, seperti jawa, sunda, jawa kuno, sunda kuno, pegon, arab-melayu atau jawi, Bugis, Makasar, Lampung dan lain-lain.

Dengan kenyataan beragamnya masyarakat Indonesia itu, dapat dibayangkan betapa beragamnya pendapat, pandangan, keyakinan dan kepentingan masing-masing warga, bangsa termasuk dalam beragama. Oleh karena itulah betapa pentingnya sikap moderat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini.

Di Indonesia, dalam era demokrasi yang serba terbuka, perbedaan pandangan dan kepentingan di antara warga negara yang sangat beragam itu dikelola sedemikian rupa sehingga semua aspirasi dapat tersalurkan sebagaimana mestinya. Demikian pula dalam beragama, konstitusi kita menjamin kemerdekaan umat beragama dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.

Namun kita harus waspada, salah satu ancaman kita yang dapat memecah belah kita sebagai sebuah bangsa adalah konflik berlatar belakang agama, terutama yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan. Konflik berlatar agama ini dapat menimpa berbagai kelompok atau mazhab dalam satu agama, atau terjadi pada beragam kelompok dalam agama-agama yang berbeda. 

  

3.       Prinsip Moderasi Beragama

Prinsip dari moderasi beragama adalah adil dan berimbang. Adil berarti tidak memihak pada satu kelompok hanya karena punya kesamaan, akan tetapi berpihak pada kebenaran, siapapun dia dan dari manapun asalnya. Berimbang artinya tegas, tapi tidak keras karena selalu berpihak pada keadilan, hanya saja keberpihakannya itu tidak sampai merampas hak orang lain sehingga merugikan. Keseimbangan dapat dianggap sebagai suatu bentuk cara pandang untuk mengerjakan sesuatu secukupnya, tidak berlebihan dan juga tidak kurang, tidak konservatif dan juga tidak liberal.

Kedua nilai ini akan lebih mudah terbentuk jika seseorang memiliki tiga karakter utama dalam dirinya, kebijaksanaan, ketulusan dan keberanian. Dengan kata lain sikap moderat dalam beragama selalu memilih jalan tengah, akan lebih mudah diwujudkan apabila seseorang memiliki keluasan pengetahuan agama yang memadai sehingga dapat bersikap bijak, tahan godaan sehingga bisa bersikap tulus tanpa beban, serta tidak egois dengan tafsir kebenarannya sendiri sehingga berani mengakui kebenaran tafsir orang lain, dan berani menyampaikan pandangannya yang berdasar ilmu. 

 

4.       Menerapkan Moderasi Beragama dengan Benar

Sikap dalam beragama secara garis besar terbagi menjadi tiga, yaitu ekstrem kiri, ekstrem kanan dan sikap pertengahan. Sebagaian besar wacana tentang moderasi beragama lebih menyoroti tentang solusi untuk masalah konservatisme beragama, atau yang sering disebut ekstrem kanan. Ini menggambarkan pemahaman yang belum utuh tentang moderasi beragama, karena sesungguhnya moderasi beragama tidak hanya bertujuan untuk menengahi mereka yang cenderung memiliki pemahaman yang cenderung ultra-konservatif, melainkan juga kelompok yang memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang liberal, atau sering disebut ekstrem kiri.

Mereka yang berhenti pada cara pandang, sikap dan perilaku beragama yang liberal, akan cenderung secara ekstrem mendewakan akalnya dalam menafsirkan ajaran agama, sehingga tercerabut dari teksnya, sementara mereka yang berhenti di sisi sebaliknya secara ekstrem akan secara rigid memahami teks agama tanpa mempertimbangkan konteks. Moderasi beragama bertujuan untuk menengahi kedua kutub ini, dengan menekankan pentingnya internalisasi ajaran agama secara substantif di satu sisi dan melakukan konstektualisasi teks di sisi lain.

Pandangan keagamaan sebagian sarjana muslim yang menghalalkan hubungan seks di luar nikah misalnya adalah contoh tafsir liberal yang dapat dikategorikan sebagai ekstrem kiri, meski tafsir ini juga didasarkan dari teks Alquran tentang Milk Al-yamin (hamba sahaya/budak), namun penerapannya dalam konteks sekarang dianggap oleh Sebagian besar tokoh agama sudah terlalu jauh keluar dari maksud teks, alias terlalu ekstrem karena secara kultural tradisi perbudakan sudah dihilangkan.

Sebaliknya pandangan keagamaan yang hitam putih dalam memahami teks agama juga seringkali terjebak pada sisi ekstrem yang lain yang merasa benar sendiri. Dalam konteks beragama, pandangan, sikap dan perilaku ekstrem seperti ini akan mendorong pemeluknya untuk menolak menerima pandangan orang lain, dan bersikukuh dengan kebenaran tafsirnya sendiri. Dari sinilah muncul terma garis keras, ekstrem atau ekstremisme, yang dikaitkan dengan praktek beragama yang ultra-konservatif. Dalam Bahasa agama Islam disebut dengan ghuluw atau ifrath, yaitu sikap berlebihan dalam agama. Sikap seperti ini tentu sangat dilarang, bahkan Nabi x telah bersabda:

إياكم والغلوّ في الدّين

“Jauhilah oleh kalian sikap berlebihan dalam agama”. (HR. Imam Nasa’I no.3057 dan Ibnu Majah no.3029)

Sikap ghuluw disini bermakna bersikap keras dan melebihi batas dalam syariat.

              Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Pilihan pada moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan serta hidup Bersama dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat multkultural seperti Indonesia, bisa jadi moderasi beragama bukan pilihan tapi keharusan.

 



[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia

[2] Lisanul Arab, Ibnu Manzhur

[3] Tafsir Ibnu Katsir

[4] Tafsir Al Qurtubi

[5] HR. Bukhari (5063), Muslim (1401)

0 comments:

Posting Komentar

PENTINGNYA MENGENAL DAN MEMPELAJARI TENTANG RASULULLAH

  Seorang manusia ketika hidup di dunia ini, tentu dia akan dituntut untuk senantiasa belajar dan belajar, karena untuk mempertahankan eksis...