1. Pengertian Moderasi
Kata moderasi berasal dari bahasa latin, moderatio, yang berarti kesedangan (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Moderasi secara bahasa artinya pengurangan kekerasan, atau penghindaran keekstriman.[1] Adapun kata moderat mengandung pengertian cenderung ke arah jalan tengah. Jika dikatakan “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem.
Dalam bahasa
Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata),
core (inti), standard (baku) atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum,
moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral dan
watak, baik Ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika
berhadapan dengan institusi negara.
Sedangkan
dalam bahasa arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang
memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), I’tidal (adil)
dan tawazun (berimbang), atau diantara dua sisi.[2]
Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah bisa disebut wasith yang sudah diserap
ke dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa arab pula, kata wasathiyah diartikan
sebagai pilihan terbaik. Adapun lawan kata dari wasath adalah ghuluw, ifrath,
atau tasyaddud dan tafrith atau taqsir.
Dengan
melihat makna moderasi secara bahasa, kita bisa menyimpulkan bahwa moderasi
beragama adalah cara pandang, sikap dan perilaku selalu mengambil posisi di
tengah-tengah, selalu bertindak adil dan tidak ekstrem dalam beragama.
2.
Landasan Moderasi Beragama
a. Landasan
agama/theologi
Beberapa dalil baik dalam Al Qur’an maupun
hadis menunjukan akan perintah untuk berperilaku atau berpandangan wasathiyah.
Yang pertama dalam Al Qur’an surat al Baqarah ayat 143, Allah telah berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا
شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Seperti
itulah Kami telah menjadikan kalian sebagai umat pertengahan, agar kalian
menjadi saksi terhadap manusia, dan juga agar Rasul menjadi saksi terhadap
kalian.” (QS. Al Baqarah [2]: 143)
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa makna washat
disini adalah pilihan, dan yang terbaik.[3]
Dan yang menunjukan kepada makna itu adalah ayat yang lain dalam surat ali
Imran ayat ke 110,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia.” (Q.S.
Ali Imran [3]: 110)
Allah mensifati umat Islam dengan wasath karena
sikap pertengahan mereka dalam beragama. Mereka tidak bersikap guluw
(berlebihan) dalam beragama sebagaimana kaum Nasrani dengan ajaran
kerahibannya, dan juga perkataan mereka tentang Nabi Isa ‘alaihi salam sebagaimana
firman Allah dalam QS. An Nisaa ayat 171,
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي
دِينِكُمْ
“Wahai ahlul kitab janganlah
kalian melampaui batas dalam agamamu” (QS. An Nisaa: 171)
Dan mereka juga bukan kelompok yang selalu
mengurangi ajarannya, seperti halnya kaum Yahudi yang selalu mengganti atau
merubah isi kitab mereka. Maka Allah menjadikan umat Islam ini sebagai umat
yang terbaik karena Allah telah memberikan keistimewaan kepadanya dengan
syariat yang paling sempurna dan lurus.
Dalam QS. Al Qolam ayat 28 disebutkan pula kata wasath,
قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ
لَوْلَا تُسَبِّحُونَ
“Berkatalah orang yang paling baik pikirannya
di antara mereka, “bukankah aku telah mengatakan kepadamu hendaklah kamu
bertasbih (kepada Tuhanmu)” (QS. Al Qolam: 28)
Imam Al Qurtubi mengatakan makna ausath adalah yang
paling adil dan paling berakal.[4]
Dalil
berikutnya adalah dalam hadis Nabi x,
dikisahkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari
sahabat Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, “ Ada tiga orang mendatangi rumah
istri-istri Nabi untuk bertanya tentang ibadah beliau, lalu setelah mereka
diberitahukan (tentang ibadah beliau), mereka menganggap ibadah beliau itu
sedikit sekali. Mereka berkata, “kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan
dengan Nabi. Beliau telah diberikan ampunan atas semua dosa-dosanya baik yang
telah lewat maupun yang akan datang, salah seorang dari mereka mengatakan,
“Adapun saya, maka saya akan sholat malam selama-lamanya.” Lalu orang yang
lainnya menimpali, “Adapun saya, maka saya akan puasa terus menerus tanpa
berbuka.” Kemudian yang lainnya berkata, “Sedangkan saya, saya akan menjauhi
Wanita, saya tidak akan menikah selamanya.” Kemudian Rasulullah mendatangi
mereka, seraya bersabda, “Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu?
Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan
paling takwa kepada-Nya diantara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku juga
berbuka (tidak puasa), aku sholat malamdan aku juga tidur, dan aku juga
menikahi Wanita. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak
termasuk golonganku.”[5]
b. Landasan
normatif
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, baik
dari segi wilayahnya maupun dalam kearagaman suku, agama, bahasa dan budayanya.
Dengan keadaan yang seperti itu, disatukan dengan ikatan kebangsaan dan
kenegaraan. Maka perlu kiranya ada aturan yang menjaga dan menjamin ikatan itu
tetap ada. Salah satu hal yang mampu mengikat keragaman budaya ini adalah dasar
negara, yaitu Pancasila. Dalam sila kedua disebutkan “kemanusiaan yang adil dan
beradab”. Yang menandakan bahwa setiap warga negara harus mempunyai sikap yang
adil dalam melihat dan mensikapi segala sesuatu. Setiap orang harus menganggap
semua warga negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama dalam statusnya
sebagai warga negara, mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada yang
mempunyai kedudukan yang istimewa di mata hukum.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional yang dikukuhkan pada 17 Januari 2020 melalui peraturan Presiden Nomor
18 tahun 2020 telah menempatkan moderasi beragama sebagai modal sosial mendasar
untuk pembangunan bangsa. Pasalnya, moderasi beragama pada
hakikatnyamenciptakan kesadaran kolektif semua komponen bangsa untuk
mengharmoniskan relasi keagamaan dan kebangsaan dalam konstruk positif.
Dalam Keputusan Menteri Agama nomor 183 tahun 2019 dijelaskan bahwa
tujuan pengembangan kurikulum PAI adalah untuk mempersiapkan manusia Indonesia
agar memiliki pola pikir dan sikap keagamaan moderat, inklusif, berbudaya,
religius serta memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang
beriman, bertakwa, berakhlak mulia, produktif, kreative, inovatif dan
kolaboratif serta mampu menjadi bagian dan solusi terhadap berbagai persoalan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.
c. Landasan sosiologi
Moderasi beragama menjadi muatan nilai dan
praktek yang paling sesuai untuk mewujudkan kemaslahatan bumi Indonesia. Sikap
mental moderat, adil dan berimbang menjadi kunci untuk mengelola keragaman
kita. Dalam berkhidmat membangun bangsa dan negara, setiap warga Indonesia
memiliki hak dan kewajiban untuk mengembangkan kehidupan bersama yang tentram
dan menentramkan. Bila ini dapat kita wujudkan, maka setiap warga negara dapat
menjadi manusia Indonesia seutuhnya, sekaligus menjadi manusia yang menjalankan
agama seutuhnya.
Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman
etnis, suku, budaya, Bahasa dan agama yang nyaris tidak ada tandingannya di
dunia ini. Selain enam agama yang banyak dipeluk oleh masyarakat, ada ratusan
bahkan ribuan suku, bahasa dan aksara daerah serta kepercayaan lokal di
Indonesia. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik tahun 2010, secara
keseluruhan jumlah suku dan sub suku di Indonesia adalah sebanyak 1331,
meskipun pada tahun 2013 jumlah ini berhasil diklarifikasi oleh BPS sendiri,
bekerjasama dengan Institut Of Southeast Asian Studies (ISEAS) menjadi 633
kelompok-kelompok suku besar.
Terkait jumlah bahasa, badan Bahasa pada tahun
2017 juga telah berhasil memetakan dan memverifikasi 652 bahasa daerah di
Indonesia, tidak termasuk dialek dan sub-dialeknya. Sebagian Bahasa daerah
tersebut tentu memiliki jenis aksaranya sendiri, seperti jawa, sunda, jawa
kuno, sunda kuno, pegon, arab-melayu atau jawi, Bugis, Makasar, Lampung dan
lain-lain.
Dengan kenyataan beragamnya masyarakat
Indonesia itu, dapat dibayangkan betapa beragamnya pendapat, pandangan,
keyakinan dan kepentingan masing-masing warga, bangsa termasuk dalam beragama.
Oleh karena itulah betapa pentingnya sikap moderat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara ini.
Di Indonesia, dalam era demokrasi yang serba
terbuka, perbedaan pandangan dan kepentingan di antara warga negara yang sangat
beragam itu dikelola sedemikian rupa sehingga semua aspirasi dapat tersalurkan
sebagaimana mestinya. Demikian pula dalam beragama, konstitusi kita menjamin
kemerdekaan umat beragama dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama sesuai
dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.
Namun kita harus waspada, salah satu ancaman kita yang dapat memecah
belah kita sebagai sebuah bangsa adalah konflik berlatar belakang agama,
terutama yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan. Konflik berlatar agama ini
dapat menimpa berbagai kelompok atau mazhab dalam satu agama, atau terjadi pada
beragam kelompok dalam agama-agama yang berbeda.
3. Prinsip
Moderasi Beragama
Prinsip dari
moderasi beragama adalah adil dan berimbang. Adil berarti tidak memihak pada
satu kelompok hanya karena punya kesamaan, akan tetapi berpihak pada kebenaran,
siapapun dia dan dari manapun asalnya. Berimbang artinya tegas, tapi tidak
keras karena selalu berpihak pada keadilan, hanya saja keberpihakannya itu
tidak sampai merampas hak orang lain sehingga merugikan. Keseimbangan dapat
dianggap sebagai suatu bentuk cara pandang untuk mengerjakan sesuatu
secukupnya, tidak berlebihan dan juga tidak kurang, tidak konservatif dan juga
tidak liberal.
Kedua nilai
ini akan lebih mudah terbentuk jika seseorang memiliki tiga karakter utama
dalam dirinya, kebijaksanaan, ketulusan dan keberanian. Dengan kata lain sikap
moderat dalam beragama selalu memilih jalan tengah, akan lebih mudah diwujudkan
apabila seseorang memiliki keluasan pengetahuan agama yang memadai sehingga
dapat bersikap bijak, tahan godaan sehingga bisa bersikap tulus tanpa beban,
serta tidak egois dengan tafsir kebenarannya sendiri sehingga berani mengakui
kebenaran tafsir orang lain, dan berani menyampaikan pandangannya yang berdasar
ilmu.
4. Menerapkan
Moderasi Beragama dengan Benar
Sikap dalam
beragama secara garis besar terbagi menjadi tiga, yaitu ekstrem kiri, ekstrem
kanan dan sikap pertengahan. Sebagaian besar wacana tentang moderasi beragama
lebih menyoroti tentang solusi untuk masalah konservatisme beragama, atau yang
sering disebut ekstrem kanan. Ini menggambarkan pemahaman yang belum utuh
tentang moderasi beragama, karena sesungguhnya moderasi beragama tidak hanya
bertujuan untuk menengahi mereka yang cenderung memiliki pemahaman yang
cenderung ultra-konservatif, melainkan juga kelompok yang memiliki cara
pandang, sikap, dan perilaku beragama yang liberal, atau sering disebut ekstrem
kiri.
Mereka yang
berhenti pada cara pandang, sikap dan perilaku beragama yang liberal, akan
cenderung secara ekstrem mendewakan akalnya dalam menafsirkan ajaran agama,
sehingga tercerabut dari teksnya, sementara mereka yang berhenti di sisi
sebaliknya secara ekstrem akan secara rigid memahami teks agama tanpa
mempertimbangkan konteks. Moderasi beragama bertujuan untuk menengahi kedua
kutub ini, dengan menekankan pentingnya internalisasi ajaran agama secara
substantif di satu sisi dan melakukan konstektualisasi teks di sisi lain.
Pandangan
keagamaan sebagian sarjana muslim yang menghalalkan hubungan seks di luar nikah
misalnya adalah contoh tafsir liberal yang dapat dikategorikan sebagai ekstrem
kiri, meski tafsir ini juga didasarkan dari teks Alquran tentang Milk Al-yamin
(hamba sahaya/budak), namun penerapannya dalam konteks sekarang dianggap oleh
Sebagian besar tokoh agama sudah terlalu jauh keluar dari maksud teks, alias
terlalu ekstrem karena secara kultural tradisi perbudakan sudah dihilangkan.
Sebaliknya
pandangan keagamaan yang hitam putih dalam memahami teks agama juga seringkali
terjebak pada sisi ekstrem yang lain yang merasa benar sendiri. Dalam konteks
beragama, pandangan, sikap dan perilaku ekstrem seperti ini akan mendorong
pemeluknya untuk menolak menerima pandangan orang lain, dan bersikukuh dengan
kebenaran tafsirnya sendiri. Dari sinilah muncul terma garis keras, ekstrem
atau ekstremisme, yang dikaitkan dengan praktek beragama yang
ultra-konservatif. Dalam Bahasa agama Islam disebut dengan ghuluw atau ifrath,
yaitu sikap berlebihan dalam agama. Sikap seperti ini tentu sangat dilarang,
bahkan Nabi x telah
bersabda:
إياكم والغلوّ في الدّين
“Jauhilah oleh kalian sikap berlebihan dalam
agama”. (HR. Imam Nasa’I no.3057 dan Ibnu Majah no.3029)
Sikap
ghuluw disini bermakna bersikap keras dan melebihi batas dalam syariat.
Moderasi
beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik
di tingkat lokal, nasional, maupun global. Pilihan pada moderasi dengan menolak
ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi
terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah
masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat,
menerima perbedaan serta hidup Bersama dalam damai dan harmoni. Dalam
masyarakat multkultural seperti Indonesia, bisa jadi moderasi beragama bukan
pilihan tapi keharusan.
0 comments:
Posting Komentar